Berita Terbaru :
|

Bagikan Berita
Asam Pedas dan Kota Seribu Museum


MELAKA atau Malaka atau Malacca sebenarnya bukan cuma sekadar kota tua yang sudah dijadikan World Heritage. Di kota ini, Anda juga bisa menikmati kuliner kampung yang sangat khas. Namanya “asam pedas”. Enak. Murah. Aromanya sangat membangkitkan selera.

Seperti itu yang saya alami saat kembali bertandang ke salah satu dari 14 kesultanan dari Diraja Malaysia ini untuk kali ketiga pada Sabtu, 20 Oktober lalu. Saat saya bersama rombongan tim Petronas dari Sulsel memasuki Melaka dari Kuala Lumpur, kami langsung menuju Bandar Melaka. Tujuannya adalah kedai makan bernama Asam Pedas Selera Kampung.

Makan di sini prasmanan. Anda diberi sepiring nasi, lauknya pilih dan ambil sendiri sesuka hati. Cuma minuman yang harus dipesan sama pelayan kedai. Makanan dan minuman dihitung di meja tamu. Penghitungan harga dilakukan setelah setiap menu tersaji lengkap di piring masing-masing.

“Jangan takut salah hitung. Orang dan pelayan di sini sangat mengutamakan kejujuran,” ungkap kolega saya bernama Ruslan yang selama ini bermukim di Selangor.

Betul kata Ruslan. Di piring saya yang tersaji satu potong ayam kampung bakar ukuran cukup besar, nasi, sayur asam, ditambah teh tarik, harganya hanya 11 ringgit Malaysia. Jika dirupiahkan sekira Rp35.200. Harga makanan yang sangat murah untuk sebuah kawasan wisata internasional.

Sebenarnya, apa yang ada di Melaka? Nah, Melaka sendiri sangat dikenal sebagai “Kota Seribu Museum”. Di kota tua ini, museum --orang Melaka menyebutnya muzium, sangat banyak. Letaknya juga tak saling berjauhan. Bahkan di pusat keramaian Melaka, museum hanya berjarak sepelemparan batu antara satu dengan lainnya.

Sebut saja Christ Church. Sebuah gereja Katolik yang didirikan tahun 1753. Kini, selain sebagai gereja, bangunan yang terletak di Church Street ini juga berfungsi sebagai museum. Bentuk dan ornamen bangunannya sangat terawat. Kecuali atap dan bagian dalam, seluruh tembok bangunan berwarna merah.

Gereja lain yang cukup tua bernama Francis Xaviers Church. Ini gereja Katolik buatan 1849. Perancangnya bernama Reverend Farve. Dia pria asal Prancis. Francis Xaviers Church mempunyai dua menara berarsitektur gothic yang didedikasikan untuk St Francis Xavier berjuluk Apostle to the East, misionaris Katolik abad 16.

Tak jauh dari Francis Xaviers Church ada bangunan bernama The Stadhuys buatan 1650. Dulunya sebagai tempat tinggal Gubernur Belanda di zaman penjajahan. Sekarang, The Stadhuys sudah berubah nama menjadi Muzium Ethnografi dan Muzium Sejarah Melaka. Bentuk bangunan menyerupai gereja tua meski lebih besar. Ada dua lantai. Dinding atas dan plafon mulai dimakan usia. “Tua itu memang elok,” kata Agus, rekan tim Petronas dari Surabaya.

Di seberang jalan, ada satu monumen kapal laut model dulu. Oleh masyarakat setempat diyakini, inilah replika dari orang Portugis pertama yang menjejakkan kaki di Melaka. Replika kapal yang mirip digunakan Johnny Deep dalam film Pirates of the Carribian itu juga difungsikan sebagai museum. Namanya Muzium Samudera. Ada juga yang menyebutnya Muzium Kapal.

Sejarah Melaka sendiri tak lepas dari Majapahit. Konon, kesultanan ini dibangun oleh seorang bangsawan Majapahit yang memilih hengkang dari kerajaan asal Sumatera itu. Dia kemudian berlayar hingga akhirnya tiba di tempat itu tahun 1409. Bangsawan Majapahit ini dikenal punya banyak kerabat. Termasuk saudagar China. Sehingga saudagar-saudagar China pun bersedia singgah dan membuka bandar di Melaka. Mereka mendapat satu lokasi bernama Bukit China. Sampai saat ini, bukit ini masih bisa disaksikan warga awam.

“Melaka adalah pintu masuk Tionghoa warga Liem ke Indonesia. Termasuk ke Makassar,” ungkap David Gozal, teman dari Makassar yang selama ini wara-wiri ke Malaysia. “Nenek moyang marga Liem di Asia Tenggara berasal dari Melaka,” lanjut dia.

Selain bangunan yang masih utuh, sejarah panjang Melaka dari pengaruh Portugis juga terpampang abadi di Porto de Santiago. Orang Indonesia menyebutnya, “Pintu Gerbang Santiago.”. Inilah salah satu dari empat pintu masuk ke Melaka. Pintu ini dibangun tentara Portugis pada tahun 1511. Mereka dipimpin Alfonso de Albuquerque.

Di belakang Porto de Santiago terdapat Istana Kesultanan Melaka. Dahulu istana ini ada di dalam benteng. Namun, dinding benteng dihancurkan tentara Inggris pimpinan William Farquhar pada tahun 1807. Sir Stamford Raffles dan Lord Minto berusaha mencegah penghancuran ini, namun yang berhasil diselamatkan hanya Pintu Gerbang Santiago.

Sisi lain Melaka yang patut ditiru adalah kebersamaan dalam keberagaman. Seperti di Jalan Hang Jebat. Di situ ada Kuil India Sri Poyyatha Moorthi dan Masjid Kampong Keling. Bangunan masjid ini sekaligus menjadi bukti perpaduan akulturasi budaya Islam, China, dan Melayu kala itu.

Selain itu, ada pula Kuil China, Cheng Hoon Teng buatan tahun 1646. Konon, material bangunan kuil didatangkan langsung dari China. Hingga sekarang, ketiga tempat ibadah ini tetap terawat apik dan masih digunakan bersembahyang. Jemaahnya hidup damai dan rukun. “Ini sesuatu yang luar biasa,” kata Amir, teman dari Barru.

Sejatinya, Makassar boleh saja sama dengan Melaka. Bahkan, bisa melebihi. Sebab kuliner tradisional Makassar jauh lebih beragam. Tentu saja juga jauh lebih enak. Di Makassar juga banyak bangunan tua penuh sejarah.
Pembedanya memang lebih kepada perhatian pemerintah itu sendiri. Di Melaka, pemerintah setempat sangat tegas dalam menjaga kotanya sebagai World Heritage City. Di Makassar, bangunan tua malah dibongkar untuk dijadikan ruko.


Baca Juga :


Posted by Anonim on 12.49. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response
comments powered by Disqus

Komentar Baru

Update Terbaru