Bentara Budaya, Penyentuh Seniman Terabaikan
Bentara Budaya bermakna utusan budaya. Pilihan nama yang secara sadar disetiai para wartawan budaya Kompas
yang dengan senang hati melakukan penjelajahan sampai ke pelosok desa
untuk melaporkan tradisi, kegiatan unik, dan menemukan para seniman yang
berkarya sepenuh hati. Kerja jurnalistik ini, selain mengisi lembar
budaya Kompas, juga menjadi cikal dibentuknya Bentara Budaya – rumah seni, galeri – yang dibentuk kelompok media penerbitan Kompas-Gramedia di Yogyakarta, 26 September 1982.
Program bakti sosial ini dijalankan dengan semangat menggapai seni
dan seniman yang nyaris tak pernah dilirik rumah seni, gedung
pertunjukan, bahkan pemerintah. “Kami ingin menyelamatkan, kalau tidak
seluruhnya, paling tidak sebagian saja episode karya seniman yang selama
ini terpinggirkan dan tak pernah terdengar,” tutur Hariadi Saptono,
Direktur Eksekutif Bentara Budaya dalam jumpa pers Jumat (21/9) sore di
Bentara Budaya Jakarta.
Sejak awal, Bentara Budaya bersikap untuk tidak komersial. Tentu saja
tetap ada proses dan tahap penilaian bagi seniman yang diundang untuk
menampilkan karyanya di Bentara Budaya.
“Kriteria umum adalah para seniman yang secara total berkarya dan
mengabdikan hidupnya untuk karya tapi tak pernah dihargai dan terkesan
terpinggirkan,” papar Romo Sindhunata, kurator Bentara Budaya yang
dikenal sebagai penulis dan pemerhati budaya.
Tolok ukur keberhasilan di antaranya adalah bila para seniman yang
pernah tampil di Bentara Budaya bisa bertahan untuk terus berkarya,
bahkan menasional. Soimah, adalah salah satu contoh.
Rumah seni yang disubsidi, pada umumnya menyurut atau berhenti.
Bentara Budaya, yang mengangkat seniman yang tak popular, justru
berkembang menjadi beberapa utusan budaya di wilayah lain. Seperti
Bentara Budaya Jakarta, 26 Juni 1986, Balai Soedjatmoko Surakarta, yang
berdiri pada 31 Oktober 2003 di Solo bergabung dengan pengelolaan
Bentara Budaya pada Januari 2009, dan Bentara Budaya Bali, September
2009.
Merayakan 30 tahun berkarya. menjaga para seniman “jelata” terus
berkarya. Bentara Budaya mengagendakan Pameran Seni Rupa “Slenco” –
salah sambung, miscommunication – dari perupa seluruh Indonesia, 27 September-2 Oktober 2012.
Diskusi Seni “Otoritas Seni dan Peran Ruang Publik Kebudayaan
terhadap Pasar”, pementasan ketoprak Tjap Tjonthong pada 26 September
2012 yang memungkas penganugerahan Bentara Budaya Award pada 10 seniman
dengan karya unik dan fenomenal : Ni Nyoman Tanjung (perupa Bali), Anak
Agung Ngurah Oka (keramik klasik Bali), Pang Tjin Nio (sinden Gambang
Kromong Jakarta), Rastika (pelukis kaca Cirebon), Sitras Anjilin (wayang
orang Merapi Magelang), Sulasno (penarik becak, pelukis kaca
Yogyakarta), Mardji Degleg (dalang wayang golek Bojonegoro, Jawa Timur),
Dirdjo Tambur (pemain ketoprak Yogyakarta), Hendrikus Pali (penenun,
penari Kambera, Sumba Timur, NTT), Zulkaidah Harahap (ketua opera
tradisional Batak, Sumatra Utara).
Para seniman ini akan diundang ke Jakarta untuk menerima penghargaan,
sertifikat, trofi. dan dana berkarya Rp20 juta. Tak semua seniman
memastikan hadir. “Ada yang menyatakan tak bisa hadir karena pada hari
diundang ke Jakarta sudah ditanggap untuk bermain. Ia menegaskan tak
mengapa jika tak bisa menerima penghargaaan yang disiapkan. Ini
membuktikan ketotalannya dalam berkarya. Ada atau tiada penghargaan, ia
terus berkarya,” papar Sindhunata dengan nada bangga.
Penghargaan ini juga untuk mendorong para seniman yang saat ini
mungkin merupakan seniman terakhir di bidangnya. Jangan sampai mereka
menjadi seniman terakhir. Penghargaan dari masyarakat, dalam bentuk
perhatian untuk mengundang mereka pentas, yang berarti juga nafkah untuk
melanjutkan hidup dalam berkesenian, merupakan semangat yang harus
terus dihidupkan.
Baca Juga :
Posted by Anonim
on 17.25. Filed under
culture budaya,
Drive News
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response