Berita Terbaru :
|

Bagikan Berita
Memaknai “Kiamat” 2012


BEBERAPA tahun lalu, pernah diprediksi bahwa tahun 2012 adalah tahun terjadinya kiamat. Dunia dihebohkan dengan isu itu dan semua perhatian sontak tertuju padanya. Sebagian mengamininya lantas mawas diri dan sebagian yang lain menganggapnya sebagai berita bohong dan menyesatkan dengan sikap dan respon yang beragam pula. 

Namun demikian, terlepas benar-tidaknya berita itu, kita tentu boleh saja memandangnya sebagai hal yang positif, baik sebagai sebuah peringatan, ujian, atau syok terapi yang dapat membangunkan kita dari kelalaian ekologis, ketimbang mengabaikannya tanpa memerhatikan secara serius kondisi bumi hari ini.

“2012” dan “kiamat” dapat dimaknai sebagai sebuah pesan bahwa sangat mungkin di tahun tersebut akan terjadi beragam bencana ekologis yang mengancam kehidupan makhluk. 

Lewat pesan tersebut, kita diharapkan semakin sadar untuk bersikap lebih santun, bijak, dan benar dalam semua hal, terpanggil untuk menciptakan ketentraman dan keharmonisan di muka bumi, dan merubah cara pandang yang selama ini keliru, cenderung egois, serta rakus terhadap alam atau lingkungan, ketimbang bersikap acuh-tak acuh, menganggapnya tidak penting, dan mengabaikan kondisi ekologi bumi yang sangat rapuh dan terancam. Poin penting dari isu itu bahwa kiamat boleh saja terjadi, tetapi sikap, perbuatan, dan kerja nyata menciptakan keharmonisan di bumi adalah suatu keniscayaan abadi yang dapat menyelamatkan manusia seluruhnya.

Pesan “kiamat” sebagaimana yang diisukan itu bukanlah hal baru dalam ranah ekologi. Pada tahun 1960-an pesan serupa pernah dimunculkan para ekolog modern semisal Rachel Carson, dalam karyanya The Silent Spring (1962), Garrett Hardin, The Tragedy of the Commons (1968), dan dipertegas oleh Bill McKibben yang dengan lantang meneriakkan The End of Nature (1989), atau apa yang disebut “kiamat”. 

Bahkan, berdasarkan data dari dua penelitian penting dalam A Blueprint for Survival (1972) dan The Limits to Growth (1972), disimpulkan bahwa batas pertumbuhan di planet ini hanya berlangsung dalam kurun waktu 100 tahun mendatang. Kesimpulan tersebut menjadi isyarat bahwa kiamat ekologis bakal terjadi. Namun satu catatan penting, hal itu tidak akan terjadi apabila ekosistem bumi ini dipelihara secara lestari. 
  
Tanpa penelitian semacam itu pun kita sudah mengetahui bagaimana kondisi bumi hari ini, apalagi jika dikonfirmasi langsung ke beberapa penelitian mutakhir yang semakin membenarkan prediksi kiamat ekologis yang dimaksud. Fakta tak terbantahkan bahwa banjir, tanah longsor, cuaca ekstrim, badai angin, dan gempa bumi telah merenggut jutaan nyawa manusia dan kerugian materil yang tiada terhingga. Fakta tersebut membuktikan bahwa manusia telah lalai secara ekologis, atau apa yang disebut oleh Mujiono Abdillah dalam Teologi Lingkungan Hidup sebagai “kafir ekologis”.

 Back to Nature!



Perubahan paradigma merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh semua kalangan. Sebab, kesalahan mendasar pemicu munculnya “kiamat ekologis” adalah dimotori oleh kesalahpahaman kita dalam memandang diri sendiri, alam semesta (lingkungan hidup), bahkan Tuhan.

Selama ini, kita telah jauh menyimpang dari hukum Tuhan yang semestinya. Alam yang diperuntukkan untuk menopang kehidupan kita, dipandang sebagai objek rendahan yang dapat dieksploitasi sekehendakya. Alam yang telah mengajarkan manusia bagaimana menjalani hidup dengan bersahaja, bijaksana, dan respek terhadap sesama, kita perlakukan secara kasar, arogan, dan egois.
Padahal bagi manusia, alam sejatinya adalah media pembelajaran, sumber pengetahuan dan kebijaksanaan yang oleh orang bijak dilukiskannya dengan ungkapan, 

“Untuk belajar bagaimana menjadi manusia seutuhnya”. Tanpanya mustahil kita mampu mengaktual menjadi manusia seutuhnya dan karenanya pula kita dapat mengerti arti kehidupan dan hidup dengan keutamaan. Karena itulah, alam tidak boleh dieksploitasi, dirusak, dikuras, dan direndahkan martabatnya. Sebab, sebagaimana diyakini oleh orang bijak bahwa alam adalah manusia besar (makrokosmos) dan manusia adalah alam kecil (mikrokosmos). 

Manusia adalah miniatur terkecil dari alam yang sangat besar dan padanya terefleksi secara penuh keseluruhan yang ada pada alam. Karena itu, merusak alam sama halnya dengan merusak manusia itu senidiri dan dapat memantik murka Tuhan. Selaras dengan maksud tersebut, sebuah ungkapan menyatakan bahwa: “Tujuan orang bijak adalah berharmoni dengan alam, karena melalui harmoni ini, lahirlah harmoni dengan manusia dan harmoni ini sendiri merupakan cerminan dari berharmoni dengan langit”.

Kalau demikian adanya, model sikap, perilaku, dan pandangan yang merendahkan alam (lingkungan hidup) adalah perkara yang menyimpang dari nature kita sendiri. Karenanya, dalam kitab suci agama disebut bahwa merusak alam adalah sebuah dosa yang dilarang keras: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi..” (QS. al-A’raf: 85). 

Semoga kita menyadari peran kita untuk menciptakan keharmonisan di bumi dan berharap agar kiamat ekologis tadak pernah menerpa bumi tercinta ini. 


Baca Juga :


Posted by Anonim on 04.51. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response
comments powered by Disqus

Komentar Baru

Update Terbaru