Hakim Bisa Dipidana Bila Salah Memutus
Badan Legislasi (Baleg) DPR telah
berhasil menyusun draf revisi UU Mahkamah Agung (RUU MA). Draf itu pun
telah dinyatakan sebagai RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna, Kamis
(12/4) lalu, dan siap untuk dibahas bersama dengan pemerintah. “Karena
undang-undang ini sudah tiga kali diubah, maka kali ini bukan lagi
perubahan, tetapi penggantian undang-undang,” ujar Ketua Baleg Ignatius
Mulyono di sela-sela rapat paripurna.
Ignatius menjelaskan salah satu poin
dalam RUU MA ini adalah upaya untuk membuat para hakim lebih profesional
dalam memeriksa dan memutus perkara. Ia mengungkapkan hakim yang salah
dalam memutus perkara bisa dikenakan sanksi, baik administrasi maupun
pidana. “Iya, hakim bisa juga dipidana,” tegasnya kepada abfdrive.
“Kalau hakim salah mengambil suatu
dasar hukum untuk putusannya, padahal dia sudah tahu itu salah, maka dia
bisa dikenakan hukuman. Termasuk hukuman pidana,” jelasnya lagi.
Ignatius menilai sanksi pidana adalah
hukuman yang layak bila si hakim memang sengaja menggunakan dasar hukum
yang salah. Ia juga menegaskan ancaman sanksi pidana bukan untuk
mempengaruhi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
“Ini untuk memprofesionalkan hakim dalam membuat putusan. Itu yang
dijaga. Hakim sebagai palang pintu terakhir jangan asal mengambil
putusan,” jelasnya.
Berdasarkan pantuan hukumonline,
ketentuan hakim dapat dipidana bila salah mengambil dasar hukum untuk
putusannya sebenarnya tak tercantum dalam draf yang disetujui di rapat
paripurna. Fakta ini yang membuat anggota Baleg dari Partai Golkar
Nudirman Munir berang.
Nudirman menegaskan bahwa pasal yang
memuat ancaman pidana untuk para hakim itu tiba-tiba hilang. Padahal, ia
menegaskan pasal ini sudah disepakati dalam persetujuan di Baleg,
beberapa waktu lalu. Ia pun mengaku sudah memberitahu pimpinan DPR
mengenai persoalan ini. “Pimpinan DPR juga sudah setuju agar ketentuan
ini masuk ke dalam draf,” ungkapnya.
Ditemui terpisah, Ketua Umum Ikatan
Advokat Indonesia (Ikadin) Todung Mulya Lubis menilai perlu pembuktian
yang kuat bila ingin menghukum hakim yang dinilai salah atau lalai dalam
mengambil dasar hukum putusan. Yakni, apakah memang dilakukan atas
dasar kesengajaan, kolusi, konspirasi yang melanggar sumpah hakim atau
tidak.
“Saya tak sepenuhnya setuju dengan
kriminalisasi hakim. Kecuali, memang ada bukti shahih bahwa ada hakim
yang tertangkap tangan. Tapi, untuk mereka yang salah membuat putusan,
saya rasa sanksi administrasi sudah cukup. Diberhentikan sebagai hakim
itu adalah hukuman yang sangat berat,” jelas Todung.
Sebagai informasi, konsep pertanggungjawaban hakim terhadap putusan yang dibuatnya itu dikenal sebagai judicial liability.
Profesor Hukum dari Universitas Utrecht Belanda A.W. Jongbloed pernah
mengutarakan konsep pertanggungjawaban judicial ini telah diterapkan di
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Konsep ini, lanjutnya, adalah para
pihak yang berperkara (misalnya dalam perkara perdata) dapat meminta
ganti rugi kepada hakim yang telah salah membuat putusan yang
mengakibatkan kerugian terhadap pihak tersebut. Di beberapa negara,
konsep pergantian ganti rugi ini berbeda-beda. Ada yang diserahkan
kepada si hakim itu sendiri atau ganti rugi dilakukan oleh negara.
Namun, di Indonesia, saat ini masih ada SEMA No 9 Tahun 1976
yang menegaskan bahwa hakim tak bisa dimintai pertanggungjawaban secara
hukum terhadap putusan yang dibuatnya. Artinya, dalam menjalankan
tugasnya itu, hakim tak bisa dipidana maupun digugat secara perdata
mengacu kepada SEMA tersebut.


