Upaya Amy Atmanto Populerkan Kain Aceh ke Dunia
SONGKET dan tenun Aceh memang belum sepopuler batik dari Jawa ataupun songket khas Palembang. Namun, desainer Amy Atmanto berusaha memerkenalkan kain khas Aceh bisa dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia dan mancanegara.
Hingga kini, tidak banyak orang yang mengetahui soal keberadaan songket dan tenun dari Aceh. Padahal sesungguhnya, produk kreatif para pengrajin Aceh memiliki daya tarik yang bisa melecut para pemerhati dan pencinta fesyen di Tanah Air bangga mengenakannya.
“Tenun Aceh memang agak berbeda, lebih lembut sekalipun tidak dibuat dari material bahan sutra,” tutur Amy Atmanto membuka pembicaraan di butiknya kawasan Tebet, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Istri Direktur Utama Indosat IM2 Indar Atmanto yang belum lama ini berkunjung ke Aceh mengaku, bahwa jumlah pengrajin yang masih bertahan hingga kini kurang dari 50 orang.
“Masih minim sekali. Selain itu, mereka juga masing menjalani aktivitas lain, seperti bercocok tanam, dan lain-lain. Jadi, tidak fokus menenun saja,” kata desainer yang masuk dalam jajaran 50 wanita cantik di Indonesia versi HighEnd Magazine.
Dengan kondisi seperti itu, sambungnya, tentu akan memengaruhi jumlah produksi kain yang tidak banyak. Sebab menurut wanita kelahiran Jakarta, 19 Agustus 1973 ini, para pengrajin di Aceh perlu membutuhkan waktu sebulan atau paling cepat 10 hari untuk menyelesaikan satu lembar kain.
“Saya coba membantu para pengrajin Aceh lebih produktif dan kreatif sehingga bisa meningkatkan taraf hidup mereka. Cara yang kini saya lakukan dengan membuat busana yang cantik dan fashionabledengan menggunakan material utama kain Aceh. Mengingat kemampuan produksi pengrajin terbatas, saya biasanya menyetok kain dulu sehingga ketika ada pesanan bisa segera digarap. Namun ke depan ketika permintaan konsumen banyak dan kain Aceh sudah dikenal luas, itu tidak semata menjadi tugas desainer tetapi banyak pihak,” papar pendiri perkumpulan Cinta Kain Aceh ini bersama artis senior Cut Yanti.
Wanita berdarah Sunda, Aceh, dan Padang ini juga menyadari bahwa kain Aceh bisa “booming” seperti batik atau songket memang membutuhkan waktu, namun hal itu tak membuatnya berhenti berupaya. Salah satu langkah yang dilakukannya agar kain Aceh dikenal hingga mancanegara dengan mengikuti ajang Le Bourget, Paris, Prancis, Desember 2011.