Di Balik Arti Belanja pada Hari Raya
Hari raya seringkali menjadi momentum bagi banyak orang untuk
membelanjakan uangnya. Tergiur oleh diskon, pemasukan tambahan dari
Tunjangan Hari Raya (THR), dan kebiasaan masyarakat yang mengharuskan
baju terbaik saat hari perayaan.
Sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Zuly Qodir
menjelaskan, fenomena belanja di Indonesia khususnya saat hari raya
dimulai sejak tahun 1990-an. Waktu itu terjadi adanya perubahan zaman
dari agraris ke industri.
“Sejak zaman industri itulah belanja menjadi bagian dari gaya hidup
yang berpacu dalam persaingan, kepanikan, bahkan pertunjukan kegilaan
akan barang-barang produksi,“ ungkap Zuly di Yogyakarta, Rabu (15/8).
Belanja, lanjutnya, digunakan oleh kaum kapitalis untuk menaikkan
keuntungan sebesar-besarnya hingga masyarakat menjadi tergantung dengan
barang produksinya. Inilah yang menjadikan realitas baru dalam kehidupan
masyarakat.
Keberadaan mal, supermarket, hypermarket, atau pusat-pusat
perbelanjaan lain, adalah wujud pembuatan kelas sosial baru dalam
kehidupan sehari-hari. Belanja akhirnya digunakan sebagai cara menaikkan
citra diri sekaligus menaikkan kelas sosial seseorang.
“Belanja merupakan sarana membangun jarak sosial dalam masyarakat.
Barang belanjaan, tempat belanja, dan merk belanjaan adalah identitas
sosial yang maha penting,” katanya.
Di Indonesia, belanja akhirnya mengarahkan pada konsumerisme.
Konsumerisme inilah yang menyebabkan seseorang seringkali tidak merasa
puas dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya, orang akan belanja produk
yang tidak dibutuhkan karena tergiur dengan berbagai macam bonus.
Ekonom dari Universitas Muhammadiyah Yogyakara Ahmad Ma’ruf, tak
menampik jika hari raya menjadi pesta kemenangan bagi kaum pemodal. Para
pelaku bisnis memanfaatkan momentum hari raya untuk memberikan bonus
besar-besaran.
“Para pelaku bisnis menganggap wajar apabila masyarakat mengeluarkan extra cost dalam tradisi hari raya. Untuk itulah provokasi iklan produk maupun promosi pusat-pusat belanja gencar dilakukan,” tandasnya.
Ia melanjutkan bahwa konsumerisme memang tengah melanda masyarakat
Indonesia. Padahal ketika Indonesia mengalami masa agraris, masyarakat
tidak termotivasi untuk membelanjakan uangnya secara berlebih.



